Penyebutan KSP Moeldoko, bukanlah hal yang sifatnya kebetulan. Namun, ada maksud politik dibalik istilah tersebut. Bagi saya pribadi, penyebutan KSP Moeldoko adalah langkah teror ke Pemerintahan Presiden Jokowi.
Menarik sekali isi pemberitaan tersebut bagi saya. Lebih-lebih, jika ditarik benang merah dengan kejadiaan saat ini di PD. Gus Dur sangat gamblang menjelaskan kejadiannya. Ciri khas Gus Dur adalah jujur, lugu dan lugas. Saya percaya dengan apa yang disampaikan Gus Dur di pemberitaan tersebut.
Gus Dur mengatakan: PKB dicuri Muhaimin dibantu pemerintah Sang Penguasa. Gus Dur juga mengatakan: ada orang luar yang mengobok-obok PKB.
Sekali lagi, saya percaya dengan ucapan Gus Dur. Namun, jika ucapan Gus Dur akan saya rujuk, saya analisa dan hasilnya saya sampaikan ke publik, maka saya harus menghormati azas praduka tak bersalah. Jika ucapan Gus Dur itu ternyata benar, maka apa yang terjadi di PD saat ini mirip dengan apa yang dialami Gus Dur dengan PKB-nya di masalalu.
Yang saya herankan, mengapa harus marah-marah? Tidak perlu! Bukannya sudah familiar dengan istilah pengkhianatan, kudeta parpol, dan intervensi internal parpol oleh Sang Penguasa, dengan pendekatan kekuasaan?
Pak Marzuki Alie juga menyampaikan hal serupa yang bunyinya: Bu Megawati Soekarnoputri kecolongan dua kali menjelang Pilpres 2004.
Bagaimana dengan penyerbuan ke kantor PDI pada tanggal 27 Juli 1996? Pelakunya masih hidup, bisa ditanya.
Bagaimana dengan pemilihan Ketum Partai Golkar tahun 2009 yang sempat memanas dan akhirnya dimenangkan oleh kubu tertentu? Apakah juga ada intervensi politik dari Sang Penguasa? Bagaimana dengan terjungkalnya Anas Urbaningrum dari posisi Ketum PD? Apakah murni karena kasus korupsinya atau ada juga kontribusi rekayasa politik dalam bentuk intervensi Sang Penguasa? Pertanyaan liar bisa diajukan seenaknya, lebih-lebih jika dibumbui dengan kebencian. Otak manusia seketika menjadi tidak waras.
Jika saya interpolasi kejadian-kejadian tersebut, dengan asumsi, saya berani berspekulasi, maka sebenarnya istilah kudeta, pengkhianatan, intervensi Sang Penguasa dengan pendekatan kekuasaan, adalah hal lumrah dalam perpolitikan di Indonesia. Suka atau tidak suka, itulah faktanya.
Mengapa harus feel grumpy, uring-uringan atau upset? Drama politik abal-abal? Tidak usah berpolitik kalau gembeng (bahasa Jawa yang artinya gampang nangis).
Saya tidak sedang mencari pembenaran atas suatu sikap politik yang dianggap melanggar fatsun politik, namun saya juga menentang/melawan perilaku munafik.
Dinamika politik dil internal parpol itu sangat dinamis, karena harus mengakomodir kepentingan banyak orang. Sehingga kehidupan internal parpol harus demokratis, bukan otoriter.
Jika suatu parpol haluan politiknya menyimpang jauh dari politik negara, bisa dipastikan parpol itu tidak laku alias parpol gurem.
Rakyat sudah cerdas. Drama-drama politik yang penuh kemunafikan dan kebohongan, tidak laku lagi.
Saran saya, hadapi fakta politik yang ada saat ini di internal PD, yaitu dualisme kepemimpinan: Moeldoko vs. AHY. Abal-abal atau dagelan, itu tidak penting. Selesaikan secara tuntas dan bermartabat, baik pendekatan personal, duduk bersama, membentuk kepengurusan bersama, dan menyusun AD/ART partai yang lebih demokratis, terbuka dan non-feodalis. Jika mentok, ya ke PTUN. Beres.
Jika ke PTUN, perjalanan akan sangat panjang dan berlarut-larut, menguras tenaga, fikiran dan biaya. Bisa-bisa PD gagal ikut Pileg dan Pilpres 2024. Baguslah!
Muncul kalimat-kalimat lucu, yaitu Moeldoko musuh bersama kita. Kita? Kita bangsa Indonesia? PD suaranya hanya 7,77%. Saat ini tinggal 7,77% minus kader KLB Deliserdang. Tidak layak mengaku kita! Tidak perlu ada ucapan tidak perwira segala. Terus yang menyalip di tikungan saat Pilpres 2004, itu perwira tidak? Bagi saya itu tindakan pengecut, jauh dari sifat perwira. Apalagi pakai jurus nyolong, sesuai ucapannya sendiri.
Lebih parah lagi, ada ajakan perang. Perang saudara? Provokatif dan menyesatkan! Panik? Kalau kelompok 7,77% minus kader KLB Deliserdang, ngajak perang, bagaimana jika kelompok 23% turun gunung? Mawut!
Semuanya serba lucu, nalarnya kalang kabut, seperti nonton dagelan! Ini justru yang dagelan atau abal-abal, bukan KLB Deliserdang.
Kerajaan Norway pernah impor raja dari Perancis sebelum PD I. Apa yang salah? Sah-sah saja. Padakala itu, negara Norway dibawah kekuasaan negara Swedia.
Mengapa Norway harus impor raja dari Perancis, karena Kerajaan Norway krisis kepemimpinan. Calon raja asli dari Norway masih bau kencur, berlagu, ngertinya sedikit ngomongnya gede, miwir, dan tidak faham politik. Segala sesuatunya serba dipaksakan alias karbidan.
Apa yang dilakukan pak Moeldoko di KLB Deliserdang, bagi saya, adalah hak dan pilihan politik Beliau. Siapapun harus menghormati. Tidak perlu melankolis, lalu bicara etika dan moral segala. La yang ngomong etika dan moral itu apakah beretika dan bermoral? Sejarah telah menunjukkan wajah sesungguhnya.
Kuntul diomongke dhandhang, dhandhang diomongke kuntul (peribahasa Jawa).
Terimakasih.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2021-03-08
BP. Widyakanigara