Saya tertarik membahas ucapan salah satu kader Partai Demokrat (PD) Kubu AHY, yang mencoba menyerang pak Moeldoko dengan frasa: dulu cium tangan, sekarang menusuk dari belakang. Bahkan ada istilah begal politik segala. Begal politik tetap lebih baik dibandingkan begal uang rakyat alias merampok alias korupsi. Dasar mantan napi korupsi yang lagi krisis rasa malu. Rahi gedheg, ndhas kebo, kulit boyo.
Saya kembali harus ketawa ngakak, apalagi ketawa tidak bisa dipidana dengan UU ITE, ya bebas-bebas saja. Kubu AHY kehabisan amunisi untuk menyerang lawan, sehingga tema murahanpun diangkat ke publik, demi menjaga momentum. The war is just started.
Saya sejak kecil tidak punya kebiasaan cium tangan, hanya bersalaman saja kepada siapapun. Bagi saya salaman, cium tangan, berpelukan, atau cipika-cipiku, hanyalah tradisi. Tidak ada argumen istimewa untuk memilihnya. Apalagi dijadikan dagangan politik. Politik murahan.
Menusuk dari belakang? Menusuk dari belakang itu jika memakai cara menyerbu Kantor DPP PD dengan mengerahkan massa, memaksa Ketum AHY turun, seperti yang dialami PDI tahun 1996.
Pak Moeldoko menempuh cara KLB, dimana KLB dimungkinkan dalam AD/ART PD. Apa yang salah dengan pak Moeldoko? Menurut saya, KLB adalah cara yang demokratis dalam menyelesaikan konflik internal parpol yang bisa mengakomodir keinginan banyak pihak.
Parpol moderen bukan harta karun peninggalan nenek moyang seseorang. Sehingga untuk KLB harus dapat ijin dari seseorang, apalagi dia bukan pendiri parpol tersebut.
Saat Ibu Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden RI, pak SBY adalah sosok yang sangat dipercaya oleh ibu Mega. Jabatan pak SBY sebagai Menkopolhukam kala itu adalah jabatan sangat strategis.
Ketika pak SBY ikut nyapres 2004, bagi saya itu hal yang lumrah, dan hak politiknya pak SBY. Sah-sah saja dan harus dihormati. Tidak perlu dibilang begal politik segala.
Justru saya jadi berfikir lain, setelah ada pemberitaan di Media beberapa waktu yang lalu, soal ibu Megawati Soekarnoputri yang kecolongan dua kali saat menghadapi Pilpres 2004. Bagi saya, cara seperti ini adalah bentuk pengkhianatan, lebih busuk dari begal politik.
Fakta politik soal PD saat ini sbb:
1. Ada indikasi penggantian Akte Pendirian PD dari versi 2001 ke versi 2020, yang caranya tidak prosedural. Nama pak SBY masuk sebagai pendiri PD, padahal faktanya bukan. Pak SBY sendiri mengakui, bahwa Beliau bukan pendiri PD. Mencantumkan nama pak SBY sebagai pendiri PD adalah kebohongan sejarah dan merupakan suatu agenda politik yang mudah ditebak kemana jluntrungnya.
2. Dengan mengubah Akte Pendirian dan AD/ART PD menjadi versi 2020, patut diduga ada upaya membagun dinasti politik di PD. Jelas parpol akan menjadi parpol tertutup dengan tatakelola yang amburadul.
3. Kader-kader yang tidak puas dengan point 1 dan 2, melakukan gerilya politik, untuk suatu perubahan bagi PD. Hal yang lumrah dan sangat mudah difahami.
4. Respond PD Kubu AHY atas manuver politik kader-kader PD tersebut, sangat otoriter. Mustinya dipanggil, duduk bersama sambil minum kopi, nggak usah panik, ngobrol-ngobrol santai sambil bicara soal solusi bagi PD kedepan, malah secara semena-mena main pecat seenaknya. Bahkan, untuk hal yang belum gamblang, karekter mereka dibunuh secara sadis di ruang-ruang publik. Lebih parah lagi, pemerintah dipojok-pojokan, dituduh-tuduh, dan diatur-atur. Memangnya pemerintahannya mbah buyutmu apa?
Kematangan seorang pemimpin dengan mudau bisa dilihat dari cara dia mengelola konflik.
Bagi saya keempat points di atas adalah driving force atau spirit bagi terjadinya KLB Deliserdang, sangat masuk akal.
Sosok pak Moeldoko yang sedang moncer saat ini, layak diperhitungkan menggantikan posisi pak SBY di PD yang sudah mulai redup, demi kemajuan PD. Itu dugaan saya.
Jalan panjang dan berliku di depan mata dengan political cost yang tidak murah, rumit dan melelahkan.
Saya berharap, pak SBY dan keluarganya legowo mundur dari kepengurusan PD. Berikan kesempatan pada yang lain untuk memimpin PD.
Anak ideologis tetap lebih baik dari anak biologis.
Hal yang paling sulit bagi manusia adalah ketika dia harus menyadari, bahwa waktunya sudah habis. Kalau orang ingin eksis di segala era, namanya oportunis.
Saya punya kepentingan, masalah internal PD ini segera tuntas, agar tidak terus menimbulkan kegaduhan politik kontraproduktif bagi bangsa dan negara.
Terimakasih.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2021-03-15
BP. Widyakanigara